Judul diatas harusnya tidak boleh muncul dari pelaku aktif bidang kesehatan, karena apapun yang terjadi, yang namannya tenaga kesehatan harus satu visi dulu mengawal penduduk Indonesia mencapai sehat mandiri di tahun 2010. Tapi kenyataan yang ada di masyarakat memang membuat saya berpikir bahwa sudah saatnya pemerintah menyusun strategi jangka panjang yang baru, untuk mencapai masyarakat sehat.
Bagaimana tidak, sampai bulan ini berarti tinggal kurang lebih 20 bulan kedepan Indonesia akan mengikrarkan diri sebagai Negara sehat. Sementara realitas yang ada justru proses kearah visi tadi malah semakin melemah. Pemerintah dan pelaku di bidang kesehatan punya alibi untuk mengelak dari proses yang menuju kepada kegagalan ini. Kalau mau dirunut satu persatu maka semua sektor menyumbang secara aktif dalam kegagalan visi Indonesia Sehat 2010 (IS 2010) diantaranya bencana alam yang melanda berbagai tempat di negeri ini bencana Lapindo misalnya, membuat masyarakat mampu jatuh miskin, apalagi yang sudah miskin. Dengan kenyataan ini boro-boro untuk memikirkan hidup sehat sedangkan tinggal selama bisa lebih dari setahun di tempat pengungsian yang nyata-nyata bukan lokasi berkategori sehat. Penyakit urban pun timbul,dan ironisnya daya beli masyarakat yang terkena bencana turun, dan bahkan banyak yang terkesan bersikap pasrah akan keadaan ini.
Ditengah masyarakat pada umumnya atau yang terkena bencana khususnya, berlakulah pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”, bahkan bisa dibilang “sudah jatuh tertimpa bom pula”, sudah ditimpa bencana alam, maka sekarang masyarakat ditimpa bom kenaikan harga kebutuhan bahan pokok yang menurut masyarakat pada umumnya sudah diatas batas toleransi kemampuan membeli. Harga beras naik, minyak goreng apalagi, minyak tanah dihapus subsidinya, mau pakai kayu api tersandung illegal logging, masyarakatpun bingung. Demikian pula dengan iklim bekerja ditanah air yang selalu mengundang demonstrasi yang mengakibatkan produktivitas turun. Semua ini dapat dilihat dari inflasi bulan April yang bahkan sudah mendekati angka inflasi setahun, iklim investasi pun lesu imbasnya itu tadi, kenaikan harga barang tidak bisa dielakkan. Yang terjadi, di komunitas masyarakat miskin, mengkonsumsi makanan dengan gizi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan seperti nasi aking, yang herannya dijual di pasar tanpa ada larangan atau pengawasan dari pihak terkait, Dinas Kesehatan misalnya.
Perencanaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur didaerah rawan bencana alam seperti pembangunan tanggul yang asal-asalan menyebabkan ada wilayah yang harus terkena badai, imbasnya tentunya pada pemenuhan kebutuhan yang semakin bertambah akibat kelemahan pengawasan kualitas pembangunan infrastruktur. Belum lagi masih ada daerah pemukiman warga yang masih terisolir dan tidak punya akses jalan yang memadai menyebabkan komunitas ini sulit untuk dijangkau untuk diberikan pemahaman untuk hidup sehat.
Kisruh penentuan Ibukota di Banggai Kepulauan yang sarat dengan kepentingan politik pihak pihak yang berkepentingan, secara tidak langsung menghambat percepatan pembangunan di daerah ini. Sebuah surat harus melalui proses yang sangat panjang untuk dikeluarkan, bagaimana jadinya bila sebuah surat dibuat di Banggai kemudian di tanda-tangani di Salakan, sebuah perjalanan yang melelahkan minimal bagi pegawai yang disuruh menjadi “kurir”, yang minimal pula berpengaruh pada kesehatannya pribadinya.
Demikian pula di bidang Hukum. Masih bisa dikompromikannya serta belum meratanya penegakkan hukum ditanah air menyebabkan adanya “legitimasi “ bagi pejabat daerah untuk melakukan tindak korupsi, kan mumpung KPK masih sibuk dengan DPR dan “UUD”-nya. Minimal dari pola pikir pejabat yang korup tersebut sudah tidak sehat, apalagi bila ditinjau dari kerugian Negara yang berimbas pada penurunan kemampuan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.
Konflik antar warga yang terjadi di Solok, dan kasus Ahmadyah, terlepas dari esensi kasusnya maka akibat langsung dari kejadian ini pasti mempengaruhi kehidupan masyarakat yang diliputi akan rasa takut untuk beraktivitas yang berpengaruh langsung pada perilaku hidup sehat yang susah dicapai.
Di bidang kesehatan yang menjadi leading sector pencapaian IS 2010, justru mengemuka masalah-masalah seperti ketidaksepahaman antara Menkes dan Namru-2 yang menjadi isu sentral di media nasional bahkan majalah Tempo terbaru menjadikannya sebagai cover story. Penuntasan penyakit menular di Indonesia terancam dengan konflik ini, akan tetapi Menkes pun punya dalih tentang manfaat Namru di Indonesia,” Iya dong masak ada Namru-2, tetapi DBD tidak kunjung ada solusi, malaria di Papua tidak bisa dieliminasi.” Kilah Ibu Menkes. Dan memang Demam Berdarah Dengue yang tidak ada kecenderungan menurun bahkan ada tren meningkat setiap tahun-pun menjadi salah satu penyumbang kegagalan menuju IS 2010. Belum lagi masalah flu burung yang terus terang masih belum menemui titik terang penanggulangan.
Isu Gizi buruk yang merebak bahkan di kota sebesar Jakarta pun menjadi momok bagi pencapaian visi, alih-alih ingin anak bergizi baik salah satu elemen makanan sehat yaitu Susu Balita dirongrong isu tercemar bakteri merugikan E. Zakasakii, yang membuat orang tua menjadi takut untuk memberikan susu formula, kepada bayi dan balitanya, syukurlah masalah ini cepat di antisipasi akan tetapi masih cukup meninggalkan trauma kepada konsumen.
Dalam sebuah kolom di harian Ibukota dimuat tentang laporan keuangan sebuah produsen rokok besar yang menyatakan adannya kenaikan laba bersih pada tahun 2007 tentunya ini mengindikasikan bahwa tingkat konsumsi rokok nasional meningkat, ada apa dengan promosi kesehatan terutama promosi Perilaku Hidup Bersih dan Hidup Sehat (PHBS), dan Gaya Hidup Sehat (GHS) berarti sekali lagi menuai kegagalan, belum indikator PHBS dan GHS yang lain.
Konflik intern tenaga kesehatan tentang peran dan fungsi profesi Dokter yang katanya menomorduakan profesi perawat seperti yang dipolemikkan IDI dan PPNI yang secara faktual punya body of knowledge yang relatif sama, hal ini seperti disepelekan padahal mereka ini adalah unsur utama pencapaian IS 2010. Malah pemerintah membuka keran bagi praktik nonmedik yang jujur saja 95 % praktik ini ber-content supranatural bukan natural dan anatomi, nah yang ini justru mengirim Indonesia kejaman “Perundagian”, demikian kata guru sejarah saya waktu di SMA dulu.
Ya sudahlah, tentunya tidak akan cukup halaman Koran ini bila menulis semua masalah kesehatan yang terjadi tahun-tahun terakhir ini, sekarang apa sebenarnya yang menjadi masalah sehingga terjadi resistensi pencapaian visi tadi ?.
Sebagai praktisi bidang kesehatan yang bertugas dekat dengan masyarakat sebagai pengguna layanan kesehatan, yang bisa disimpulkan sebagai masalah ternyata adalah “Komunikasi”. Lho kok komunikasi ? kan tenaga kesehatan sudah tersebar sampai di pelosok daerah terpencil. Memang, akan tetapi yang menjadi masalah yaitu isu pencapaian Indonesia Sehat dengan berbagai program percepatannya seperti hanya slogan dan sulit untuk diterima apalagi diaplikasikan.
Konsep pengembangan desa siaga contohnya, mengapa di daerah Jawa bisa maju pesat, di Sulawesi Tengah hanya di daerah tertentu seperti Donggala, Palu, Poso, yang kebetulan Pemerintah daerahnya berhasil disuntikkan isu konsep Desa Siaga yang sebenarnya. Di daerah lain seperti Banggai Kepulauan yang katanya “masih membangun infrastruktur dulu”, masih sulit untuk mengembangkan pemberdayaan masyarakat seperti di Jawa, konsepnya pemberdayaan murni akan tetapi karena kebiasaan yang sudah menjadi budaya dimana setiap ada tawaran program pasti yang ditanya duluan adalah dana pendukung.
Komunikasi yang tercipta hanya satu arah yaitu bersifat “top – down”, pemerintah hanya menggelontorkan harus menjalankan program ini lengkap dengan dananya tanpa ada rekomendasi apa elemen masyarakat sudah siap menjalankan program. Hasilnya bisa dilihat, dana diserap kegiatan tidak ada.
Komunikasi yang efektif dalam kerangka untuk pemberdayaan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu bukan hanya sama dengan membalikkan telapak tangan, akan tetapi seperti karet gelang yang harus ditarik-tarik dulu sesering mungkin untuk membuat karet itu lebih panjang dan tidak kembali lagi. Disalah satu desa diwilayah kerja saya (Desa Batangono), ditawarkan untuk mempraktekkan Gaya Hidup Sehat dengan slogan desa “Batangono kawasan bebas asap rokok”, ternyata bisa diwujudkan walaupun belum maksimal, dengan komunikasi dan pendekatan terus menerus hampir kurang lebih 2 bulan lewat penyuluhan melalui pendekatan tokoh agama dan tokoh pendidik, dicapai bahwa warga desa ini berkomitmen untuk tidak merokok setidaknya dari Jam 05.00 s.d. Jam 15.00, belum maksimal memang akan tetapi ternyata merubah perilaku dan gaya yang sudah membudaya tidak mudah, pasti banyak kompromi yang timbul, seperti tadi, lho kok mau tidak merokok tapi pakai batas waktu, tapi sudahlah minimal warga desa bisa menghirup udara segar pagi hari tanpa ada asap rokok, lumayan kan.
Penyedia layanan kesehatan harus dipacu untuk bisa bekerja maksimal menembus batas-batas penghambat komunikasi tadi. Akan tetapi imej PGPS (Pintar Goblok Penghasilan Sama), sangat mempengaruhi kinerja tenaga kesehatan. Seperti kata Nuike Dellaney bahwa “setiap bisnis atau unit kerja yang memberikan upah yang sama kepada orang berprestasi rendah maupun yang berprestasi tinggi cepat atau lambat akan memiliki lebih banyak orang yang berprestasi rendah dari pada yang berprestasi tinggi”
Balik lagi keatas bahwa tulisan ini bukanlah ungkapan menyerah atau pesimis dari pelaku bidang kesehatan akan tetapi sedikit sebagai lecutan bahwa kita jangan tidur, tahun 2010 sudah didepan mata apakah kita berpangku tangan saja, sambil menunggu Revisi Indonesia …… 2020, atau mari kita bangun dari mimpi. Indonesia menanti karya anda.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.